Berhari raya bagi seorang muslim bukan sekedar berbahagia dan
bersenang-senang. Tetapi, justru momen untuk semakin menguatkan hubungan
dengan Allah Ta’ala, namun sayangnya hal ini sudah banyak dilupakan
banyak umat Islam. Mereka lebih fokus pada simbolitas semata, seperti
berbaju baru, makan-makan, dan menghabiskan uang.
Oleh karenanya, ada baiknya kita mengetahui adab-adab
apa saja yang mesti kita lakukan ketika berhari raya, yang dengannya
berhari raya menjadi bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala.
1. 1. Dianjurkan Mandi Sebelum Berangkat Shalat
Mandi pada hari ‘Id adalah sunah, bukan wajib, dan ini telah menjadi ijma’ para ulama.
Berkata Imam Ibnu Rajab Rahimahullah:
والغسل للعيد غير واجب . وقد حكى ابن عبد البر الإجماع عليهِ ،
ولأصحابنا وجه ضعيف بوجوبه . وروى الزهري ، عن ابن المسيب ، قال : الاغتسال
للفطر والأضحى قبل أن يخرج إلى الصلاة حقٌ .
Mandi pada hari raya bukanlah kewajiban, Ibnu Abdil Bar telah
menceritakan adanya Ijma’ atas hal itu. Sedangkan terdapat riwayat lemah
bagi sahabat-sahabat kami yang menyebutkan kewajibannya. Az Zuhri
meriwayatkan dari Ibnul Musayyib, katanya: “Mandi pada Idul Fitri dan
Idul Adha sebelum keluar menuju shalat adalah benar adanya.” (Imam Ibnu
Rajab, Fathul Bari, 6/71)
Imam Ibnul Qayyim menceritakan:
كان يغتسل للعيدين، صح الحديث فيه، وفيه حديثان ضعيفان: حديث ابن عباس،
من رواية جبارة بن مُغَلِّس، وحديث الفاكِه بن سعد، من رواية يوسف بن خالد
السمتي. ولكن ثبت عن ابن عمر مع شِدة اتِّباعه للسُنَّة، أنه كان يغتسل يوم
العيد قبل خروجه.
Nabi mandi pada dua hari raya, telah terdapat hadits shahih tentang
itu, dan ada pula dua hadits dhaif: pertama, hadits Ibnu Abbas, dari
riwayat Jabarah Mughallis, dan hadits Al Fakih bin Sa’ad, dari riwayat
Yusuf bin Khalid As Samtiy. Tetapi telah shahih dari Ibnu Umar –yang
memiliki sikap begitu keras mengikuti sunnah- bahwa Beliau mandi pada
hari raya sebelum keluar rumah. (Zaadul Ma’ad, 1/442. Muasasah Ar
Risalah)
2. 2. Memakai Pakaian Terbaik dan Minyak Wangi
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في العيدين أن نلبس أجود ما نجد و أن نتطيب بأجود ما نجد و أن نضحي بأسمن ما نجد
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada dua
hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai
wangi-wangian yang terbaik yang kami punya, dan berkurban dengan hewan
yang paling mahal yang kami punya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No.
7560, katanya: “Kalau bukan karena kemajhulan Ishaq bin Barzakh, akan
hukumi ini sebagai hadits shahih.” Hal serupa juga dikatakan Imam Adz
Dzahabi. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 2756, dari Al Hasan
bin Ali. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3715. Ath Thahawi dalam
Musykilul Aatsar No. 4730)[1]
Tetapi, telah shahih dari para sahabat bahwa mereka memakai pakaian terbaik ketika hari raya.
عن نافع أن بن عمر : كان يلبس في العيدين أحسن ثيابه
Dari Naafi’, bahwasanya Ibnu Umar memakai baju yang terbaik pada dua hari raya. (Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 5938)
Dalam riwayat yang lebih panjang disebutkan:
وَعَن مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ : قُلْتُ لِنَافِعٍ : كَيْفَ
كَانَ ابْنُ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – يَصْنَعُ يَوْمَ الْعِيدِ
؟ قَالَ : كَانَ يَشْهَدُ صَلاَةَ الْفَجْرِ مَعَ الإِمَامِ , ثُمَّ
يَرْجِعُ إِلَى بَيْتِهِ فَيَغْتَسِلُ غُسْلَهُ مِنَ الْجَنَابَةِ ،
وَيَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ ، وَيَتَطَيَّبُ بِأَحْسَنِ مَا عِنْدَهُ ،
ثُمَّ يَخْرُجُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى فَيَجْلِسَ فِيهِ حَتَّى
يَجِيءَ الإِمَامُ ، فَإِذَا جَاءَ الإِمَامُ صَلَّى مَعَهُ ، ثُمَّ
يَرْجِعُ فَيَدْخُلُ مَسْجِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَيُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يَأْتِي بَيْتَهُ
Dari Muhammad bin Ishaq: Aku berkata kepada Naafi’: “Apa yang
diperbuat Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma ketika hari raya?” Beliau
menjawab: “Beliau shalat subuh berjamaah bersama imam, lalu dia pulang
untuk mandi sebagaimana mandi janabah, lalu dia berpakaian yang terbaik,
dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang dia miliki, lalu dia keluar
menuju lapangan tempat shalat lalu duduk sampai datangnya imam, lalu
ketika imam datang dia shalat bersamanya, setelah itu dia menuju masjid
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan shalat dua rakaat, lalu pulang ke
rumahnya. (Imam Al Bushiri, Ittihaf Al Khairah, No. 1587)
Imam Al Bushiri mengatakan tentang hadits ini:
رواه الحارث بن أبي أسامة ورجاله ثقات ، والبيهقي مختصرًا
Diriwayatkan Al Harits bin Abu Usamah, dan para perawinya adalah
terpercaya, dan diriwayatkan oleh Al Baihaqi secara ringkas. (Ibid)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ibnu
Abid Dunya dan Al Baihaqi dan isnadnya shahih.” (At Tuhfah Al Ahwadzi,
3/59)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
وكان يلبَس للخروج إليهما أجملَ ثيابه، فكان له حُلَّة يلبَسُها للعيدين والجمعة، ومرة كان يَلبَس بُردَين أخضرين، ومرة برداً أحمر
Ketika keluar pada dua hari raya, Rasulullah memakai pakaiannya yang
terbaik, Beliau memiliki sepasang pakaian yang khusus digunakannya
ketika hari raya dan hari Jumat, sekali-kali Beliau memakai yang hijau,
sekali pernah yang merah. (Zaadul Ma’ad, 1/440)[2]
3. 3. Makan dulu sebelum shalat Idul Fitri, sebaliknya tidak makan dulu sebelum shalat Idul Adha
Untuk hari Idul Fitri disunahkan makan kurma berjumlah ganjil,
sebelum berangkat shalat Id. Hal ini didasarkan pada riwayat berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Pada saat Idul Fitri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidaklah berangkat untuk shalat sebelum makan beberapa kurma.” Murajja
bin Raja berkata, berkata kepadaku ‘Ubaidullah, katanya: berkata
kepadaku Anas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Beliau
memakannya berjumlah ganjil.” (HR. Bukhari No. 953)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, mengutip dari Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah:
لا نعلم في استحباب تعجيل الاكل يوم الفطر اختلافا
Kami tidak ketahui adanya perselisihan pendapat tentang sunahnya mendahulukan makan pada hari Idul Fitri. (Fiqhus Sunnah, 1/317)
لا نعلم في استحباب تعجيل الاكل يوم الفطر اختلافا
Kami tidak ketahui adanya perselisihan pendapat tentang sunahnya mendahulukan makan pada hari Idul Fitri. (Fiqhus Sunnah, 1/317)
Ada pun untuk Idul Adha, disunahkan tidak makan dan minum dahulu, kecuali setelah shalat Id.
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ
Janganlah keluar pada hari Idul Fitri sampai dia makan dulu, dan
janganlah makan ketika hari Idul Adha sampai dia shalat dulu. (HR. At
Tirmidzi No. 542, Ibnu Majah No. 1756, Ibnu Hibban No. 2812, Ahmad No.
22984)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Hasan.” (Ta’liq Musnad Ahmad
No. 22984), Syaikh Al Albani menshahihkannya. (Shahih wa Dhaif Sunan
Ibni Majah No. 1756, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 542)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dishahihkan oleh Ibnu Hibban.” (Bulughul Maram, Hal. 176. Mawqi’ Misykah)
Imam At Tirmidzi berkata:
وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ لَا يَخْرُجَ
يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ شَيْئًا وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ
يُفْطِرَ عَلَى تَمْرٍ وَلَا يَطْعَمَ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ
Segolongan ulama menyunahkan agar jangan keluar dulu pada hari Idul
Fitri sampai makan sesuatu, dan disunahkan baginya untuk makan kurma,
dan jangan dia makan dulu pada hari Idul Adha sampai dia pulang. (Sunan
At Tirmidzi No. 542)
Pergi menuju lapangan untuk shalat Id
Shalat hari raya di lapangan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak pernah shalat Id,
kecuali di lapangan (mushalla). Namun, jika ada halangan seperti hujan,
lapangan yang berlumpur atau becek, tidak mengapa dilakukan di dalam
masjid. Dikecualikan bagi penduduk Mekkah, shalat Id di Masjidil Haram
adalah lebih utama.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
صلاة العيد يجوز أن تؤدى في المسجد، ولكن أداءها في المصلى خارج البلد
أفضل ما لم يكن هناك عذر كمطر ونحوه لان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان
يصلي العيدين في المصلى ولم يصل العيد بمسجده إلا مرة لعذر المطر.
Shalat Id boleh dilakukan di dalam masjid, tetapi
melakukannya di mushalla (lapangan) yang berada di luar adalah lebih
utama, hal ini selama tidak ada ‘udzur seperti hujan dan semisalnya,
karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua hari raya di
lapangan, tidak pernah Beliau shalat di masjidnya kecuali sekali karena
adanya hujan. (Fiqhus Sunnah, 1/318)
Maksud dari “mushalla” adalah:
موضع بباب المدينة الشرقي
Lapangan di pintu Madinah sebelah timur. (Ibid, cat kaki. No. 2)
Imam An Nawawi menjelaskan:
أما الاحكام فقال اصحابنا تجوز صلاة العيد في الصحراء وتجوز في المسجد فان كان بمكة فالمسجد الحرام أفضل بلا خلاف
Ada pun masalah hukum-hukumnya, sahabat-sahabat kami
(Syafi’iyah) mengatakan bolehnya shalat ‘Id di lapangan dan bolehnya di
masjid. Jika di Mekkah, maka Masjidil Haram adalah lebih utama, tanpa
diperdebatkan lagi. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّهُ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَصَلَّى بِهِمْ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِيدِ فِي
الْمَسْجِدِ
Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat Id bersama mereka di masjid.
(HR. Abu Daud No. 1160, Ibnu Majah No. 1313, Al Hakim dalam Al Mustadrak
No. 1094, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6051, juga As Sunan
Ash Shughra No. 732)[3]
Adapun kalangan Syafi’iyah, lebih mengutamakan di
masjid jika masjid itu mampu menampung semua jamaah satu daerah, jika
tidak, maka di lapangan lebih baik.
Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah menuliskan:
وإن كان المسجد واسعا فالمسجد أفضل من المصلى لان الأئمة لم يزالوا
يصلون صلاة العيد بمكة في المسجد ولان المسجد أشرف وأنظف قال الشافعي رحمه
الله فإن كان المسجد واسعا فصلى في الصحراء فلا بأس وإن كان ضيقا فصلى فيه
ولم يخرج إلى المصلى كرهت لانه إذا ترك المسجد وصلى في الصحراء لم يكن
عليهم ضرر وإذا ترك الصحراء وصلى في المسجد الضيق تأذوا بالزحام وربما فات
بعضهم الصلاة فكره
Jika masjid itu luas, maka shalat di dalamnya lebih
utama dibanding di lapangan. Karena para imam senantiasa melakukan
shalatnya di Mekkah di dalam masjid, juga karena masjid itu lebih mulia
dan lebih bersih. Imam Asy Syafi’i berkata: “Jika masjid itu luas maka
shalat di lapangan tidak apa-apa, jika masjidnya sempit maka shalatlah
di lapangan. Jika ada yang tidak keluar menuju lapangan maka itu
dibenci (makruh), karena jika mereka meninggalkan masjid dan shalat di
lapangan, tidak akan terjadi dharar (kerusakan). Jika mereka
meninggalkan lapangan, dan shalat di masjid yang sempit, maka hal itu
akan mengganggu mereka dengan berdesak-desakan, bisa jadi di antara
mereka ada yang luput shalatnya, dan hal itu menjadi makruh. (Al
Muhadzdzab, 1/118)
Dalam Syarah terhadap kitab Al Muhazdzab-nya Imam Abu
Ishaq, Imam An Nawawi memberikan rincian sebagai berikut:
- Shalat Id di Masjidil Aqsha, menurut Al Bandaniji dan Ash
Shaidalani, lebih utama dibanding di lapangan. Jumhur tidak ada yang
menolaknya, namun yang benar adalah bahwa mereka menyamakan secara
mutlak bahwa Al Aqsha sama dengan masjid lainnya.
- Jika di negeri selain itu, maka jika mereka memiliki
halangan untuk keluar ke lapangan, maka tidak ada perbedaan pendapat
bahwa mereka diperintahkan shalat Id di masjid. Udzur tersebut seperti
hujan, dingin, rasa takut, dan semisalnya.
- Jika tidak ada udzur, dan masjidnya sempit, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa di lapangan lebih afdhal.
- Jika masjid luas, tapi tidak ada udzur, maka ada dua pendapat:
Pertama, yang shahih adalah yang tertera dalam Al Umm, dan merupakan
pendapat Al Mushannif (maksudnya Imam Abu Ishaq Asy Syirazi), mayoritas
ulama Iraq, Al Baghawi, dan selain mereka, bahwa shalat di masjid lebih
afdhal.
Kedua, yang shahih menurut komunitas ulama khurasan bahwa shalat di
lapangan lebih afdhal, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu
melakukannya di lapangan.
Golongan yang pertama memberikan jawaban, bahwa dahulu shalat di lapangan lantaran masjid berukuran sempit sedangkan manusia yang keluar sangat banyak, maka yang lebih benar adalah di masjid. Demikian uraian Imam An Nawawi. (Lihat semua dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)
Golongan yang pertama memberikan jawaban, bahwa dahulu shalat di lapangan lantaran masjid berukuran sempit sedangkan manusia yang keluar sangat banyak, maka yang lebih benar adalah di masjid. Demikian uraian Imam An Nawawi. (Lihat semua dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)
Jadi, jika dilihat perbedaan ini, nampak bahwa yang
terpenting adalah tertampungnya jamaah shalat Id dalam tempat shalat.
Itulah esensinya, kalangan Syafi’iyah bukan menolak shalat Id di
lapangan sebagaimana penjelasan tokoh-tokoh mereka, sebagaimana memang
itu yang dicontohkan nabi, tetapi mereka melihat pada maksudnya, yaitu
karena manusia begitu banyak sedangkan kapasitas masjid tidak cukup.
Nah, untuk zaman ini rasio umat Islam dan jumlah masjidnya tidak
seimbang, umumnya memang masjid tidak mampu menampung membludaknya
jamaah –dan ini yang biasa terjadi- maka, saat itu di lapangan lebih
afdhal.
Wallahu A’lam
Dianjurkan kaum wanita dan anak-anak keluar ke lapangan
Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari raya yang mesti disambut dengan suka cita oleh siapa saja.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
يشرع خروج الصبيان والنساء في العيدين للمصلى من غير فرق بين البكر والثيب والشابة والعجوز والحائض
Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum wanita pada dua hari raya
menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu gadis, dewasa, pemudi,
tua renta, dan juga wanita haid. (Fiqhus Sunnah, 1/318)
Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ
وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ
وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا
أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Kami diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
untuk mengeluarkan anak-anak gadis, wanita haid, wanita yang dipingit,
pada hari Idul Fitri dan idul Adha. Ada pun wanita haid, mereka terpisah
dari tempat shalat. Agar mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa kaum
muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak
memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudarinya memakaikan
jilbabnya untuknya.” (HR. Bukhari No. 324, dan Muslim No. 890, dan ini
lafaznya Imam Muslim)
Hikmahnya adalah –selain agar mereka bisa mendapatkan
kebaikan dan doa kaum muslimin- juga sebagai momen bagi kaum wanita dan
anak-anak untuk mendapatkan pelajaran dan nasihat agama. Hal ini
ditegaskan dalam riwayat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, ketika dahulu
masih kecil, katanya:
خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ
فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ
Saya keluar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, Beliau shalat, kemudian berkhutbah, lalu mendatangi kaum wanita dan memberikan nasihat kepada mereka, memberikan peringatakan dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. (HR. Bukhari No. 975)
Saya keluar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, Beliau shalat, kemudian berkhutbah, lalu mendatangi kaum wanita dan memberikan nasihat kepada mereka, memberikan peringatakan dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. (HR. Bukhari No. 975)
Namun, hendaknya keluarnya kaum wanita tetap menjaga
akhlak dan adab berpakaian yang dibenarkan syariat, tidak berpakaian dan
berhias seperti orang kafir, tidak menampakkan lekuk tubuh, menutup
aurat secara sempurna, tidak mencolok, dan menjauhi wangi-wangian.
Shalat Hari Raya
Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
Shalat Idul Adha (juga Idhul Fitri) adalah sunah muakadah. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
شرعت صلاة العيدين في السنة الاولى من الهجرة، وهي سنة مؤكدة واظب النبي
صلى الله عليه وسلم عليها وأمر الرجال والنساء أن يخرجوا لها.
Disyariatkannya shalat ‘Idain (dua hari raya) pada tahun pertama dari
hijrah, dia adalah sunah muakadah yang selalu dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau memerintahkan kaum laki-laki dan
wanita untuk keluar meramaikannya. (Fiqhus Sunnah, 1/317)
Ada pun kalangan Hanafiyah berpendapat wajib, tetapi wajib dalam
pengertian madzhab Hanafi adalah kedudukan di antara sunah dan fardhu.
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
صَلاَةُ الْعِيدَيْنِ وَاجِبَةٌ عَلَى الْقَوْل الصَّحِيحِ الْمُفْتَى
بِهِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ – وَالْمُرَادُ مِنَ الْوَاجِبِ عِنْدَ
الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّهُ مَنْزِلَةٌ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالسُّنَّةِ –
وَدَلِيل ذَلِكَ : مُوَاظَبَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَيْهَا مِنْ دُونِ تَرْكِهَا وَلَوْ مَرَّةً
Shalat ‘Idain (dua hari raya) adalah wajib menurut pendapat yang
shahih yang difatwakan oleh kalangan Hanafiyah –maksud wajib menurut
madzhab Hanafi adalah kedudukan yang setara antara fardhu dan sunah.
Dalilnya adalah begitu bersemangatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melakukannya, Beliau tidak pernah meninggalkannya sekali pun. (Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/240)
Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah menyatakan sebagai sunah muakadah,
dalilnya adalah karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
ditanya oleh orang Arab Badui tentang shalat fardhu, Nabi menyebutkan
shalat yang lima. Lalu Arab Badui itu bertanya:
هَل عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ ؟ قَال لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
Apakah ada yang selain itu? Nabi menjawab: “Tidak ada, kecuali yang sunah.” (HR. Bukhari No. 46)
Bukti lain bahwa shalat ‘Idain itu sunah adalah shalat tersebut tidak
menggunakan adzan dan iqamah sebagaimana shalat wajib lainnya. Shalat
tersebut sama halnya dengan shalat sunah lainnya tanpa adzan dan iqamah,
seperti dhuha, tahajud, dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa shalat
‘Idain adalah sunah.
Sedangkan Hanabilah mengatakan fardhu kifayah, alasannya adalah
karena firman Allah Ta’ala menyebutkan shalat tersebut dengan kalimat
perintah: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
(QS. Al Kautsar: 2). Juga karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
selalu merutinkannya. (Ibid, 27/240)
Mendengarkan Khutbah Hari Raya
Berkhutbah hari raya adalah sunah menurut jumhur ulama, mendengarkannya juga sunah.
Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan:
Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan:
الخطبة بعد صلاة العيد سنة والاستماع إليها كذلك
Khutbah setelah shalat ‘Id adalah sunah, mendengarkannya juga begitu. (Fiqhus Sunnah, 1/321)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah menjelaskan:
تسن عند الجمهور وتندب عند المالكية خطبتان للعيد كخطبتي الجمعة في
الأركان والشروط والسنن والمكروهات، بعد صلاة العيد خلافاً للجمعة، بلا
خلاف بين المسلمين
Disunahkan menurut mayoritas ulama, dan dianjurkan menurut Malikiyah
dua khutbah pada saat hari raya, sebagaimana khutbah Jumat dalam hal
rukun, syarat, sunah, dan makruhnya, dilakukan setelah shalat Id,
berbeda cara dengan shalat Jumat, tidak ada perselihan pendapat di
antara kaum muslimin dalam hal ini. (Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu,
2/528)
Maka, di sisi khatib, sangat dianjurkan agar khatib memberikan
khutbah semenarik mungkin agar jamaah tidak pulang. Sebab, di sisi lain
mereka berhak untuk itu, karena memang itu sunah, dan mereka pun sudah
shalat ‘Id. Berbeda dengan shalat Jumat, mereka tidak mungkin pulang
ketika mendengarkan khutbah, karena shalatnya belum dilaksanakan. Di
sisi jamaah, hendaknya mereka mau bersabar dan menyimak khutbah saat
itu, yang dengan itu mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan manfaat
melalui lisan sang khathib.
Dari Abdullah bin As Saa’ib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ
أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ
فَلْيَذْهَبْ
“Saya menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, ketika shalat sudah selesai, beliau bersabda: “Kami akan
berkhutbah, jadi siapa saja yang mau duduk mendengarkan khutbah maka
duduklah, dan yang ingin pergi, pergilah!” (HR. Abu Daud No. 1155, Ad
Daruquthni, 2/50, Alaudin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 24097 ,
Ath Thahawi, Musykilul Aatsar No. 3160. Syaikh Al Albani
menshahihkannya. Lihat Shahihul Jami’ No. 2289)
Hadits ini menunjukkan dengan tegas bahwa mendengarkan khutbah bukan
kewajiban, tetapi sunah. Namun, muslim yang baik, yang mengakui cinta
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pantas meninggalkan sunah
nabi, pada saat dia mampu menjalankannya.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad berkata:
وعلى هذا فالحضور للخطبة ليس بلازم، فمن أراد أن يحضر حضر، ومن أراد أن
ينصرف بعد أن يصلي فله أن ينصرف، والمهم هو الصلاة، وبعض أهل العلم استدل
بهذا على أن الخطبة في العيدين ليست بواجبة، وإنما هي مستحبة
Atas dasar ini, maka hadir untuk mendengarkan khubah bukanlah yang mesti, jadi barang siapa yang ingin menghadirinya maka hadirilah, dan siapa yang ingin berpaling setelah shalat maka hendaknya dia pergi, yang penting adalah shalatnya. Sebagiannulama berdalil dengan hadits ini bahwa khutbah pada dua hari raya bukanlah wajib, itu hanyalah sunah. (Syarh Sunan Abi Daud, 6/464)
Atas dasar ini, maka hadir untuk mendengarkan khubah bukanlah yang mesti, jadi barang siapa yang ingin menghadirinya maka hadirilah, dan siapa yang ingin berpaling setelah shalat maka hendaknya dia pergi, yang penting adalah shalatnya. Sebagiannulama berdalil dengan hadits ini bahwa khutbah pada dua hari raya bukanlah wajib, itu hanyalah sunah. (Syarh Sunan Abi Daud, 6/464)
Berangkat dan Pulang melewati jalan yang berbeda
Sunah ini diterangkan dalam berbagai riwayat. Di antaranya:
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar pada hari Id akan menempuh jalan yang berbeda. (HR. Bukhari No. 986)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا خرج إلى العيدين رجع في غير الطريق الذي خرج فيه
Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar
menuju shalat dua hari raya, pulangnya menempuh jalan yang berbeda
dengan keluarnya. (HR. Ahmad No. 8454, Al Hakim dalam Al Mustadrak No.
1099, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 727, Ibnu Khuzaimah No.
1468)[4]
Imam At Tirmidzi juga meriwayatkan dengan lafaz:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ فِي طَرِيقٍ رَجَعَ فِي غَيْرِهِ
Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar
pada hari raya menempuh sebuah jalan, pulangnya dia melewati jalan yang
lain. (HR. At Tirmidzi No. 541, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani
menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 4710)
Imam At Tirmidzi mengomentari hadits ini:
وَقَدْ اسْتَحَبَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لِلْإِمَامِ إِذَا خَرَجَ
فِي طَرِيقٍ أَنْ يَرْجِعَ فِي غَيْرِهِ اتِّبَاعًا لِهَذَا الْحَدِيثِ
وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ
Sebagian ulama menyunahkan bagi imam jika keluar
melewati sebuah jalan, hendaknya pulang melalui jalan lain, untuk
mengikuti hadits ini. Ini adalah pendapat Asy Syafi’i. (Sunan At
Tirmidzi No. 541)
Namun, secara zahir hadits ini tidak menunjukkan
kekhususan untuk imam. Oleh karenanya, mesti dipahami bahwa kesunahan
ini berlaku secara umum, bagi imam, juga selain imam.
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri menjelaskan:
قال أبو الطيب السندي الظاهر أنه تشريع عام فيكون مستحبا لكل أحد ولا تخصيص بالإمام إلا إذا ظهر أنه لمصلحة مخصوصة بالأئمة فقط
Berkata Abu Thayyib As Sindi: yang benar adalah bahwa
pensyariatannya adalah umum, maka hal ini menjadi sunah bagi setiap
orang tidak dikhususkan bagi imam saja, kecuali jika ada kejelasan
adanya maslahat khusus terkait dengan para imam saja. (Tuhfah Al
Ahwadzi, 3/78)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengoreksi informasi apa yang
ditulis Imam At Tirmidzi tentang pendapat Imam Asy Syafi’i yang katanya
sunah bagi imam saja, kata Al Hafizh:
والذي في الأم أنه يستحب للإمام والمأموم وبه قال أكثر الشافعية
Dan, yang ada di dalam Al Umm, bahwa Beliau (Asy
Syafi’i) menyunahkan bagi imam dan ma’mum sekaligus, dan ini merupakan
pendapat mayoritas Syafi’iyah. (Fathul Bari, 2/472)
Syaikh Al Mubarkafuri menambahkan:
وبالتعميم قال أكثر أهل العلم انتهى قلت وبالتعميم قال الحنفية أيضا
Dan, mayoritas ulama berpendapat bahwa hal ini
berlaku umum. Aku berkata: “untuk umum” juga pendapat Hanafiyah. (Tuhfah
Al Ahwadzi, 3/79)
Apa hikmahnya disunahkan menempuh jalan berbeda?
Tidak ada keterangan dalam As Sunah tentang alasan
kenapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal ini. Oleh
karenanya, terjadi beragam tafsir dari para ulama tentang maksudnya,
sampai lebih dari 20 pendapat.
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
وقد اختلف في معنى ذلك على أقوال كثيرة اجتمع لي منها أكثر من عشرين
Telah terjadi perselisihan tentang makna hal ini
dengan perselisihan yang banyak, saya telah mengumpulkan
pendapat-pendapat itu, di antaranya lebih dari 20 pendapat. (Fathul
Bari, 2/473)
Di antara mereka ada yang mengatakan; untuk saling
mengunjungi satu sama lain, untuk berbagi keberkahan di antara mereka,
agar mereka menyebarkan wangi-wangian yang memang disunahkan untuk
memakainya saat itu dan bisa dicium oleh orang lain, untuk membuat
jengkel Yahudi dan kaum munafik, menunjukkan syiar, untuk mesyiarkan
dzikrullah, dan sebagainya.
Boleh menempuh jalan yang sama
Tidak terlarang jika pada akhirnya ketika pulang dari
shalat ‘Id memilih jalan yang sama dengan berangkatnya. Hal ini
berdasarkan riwayat berikut:
Dari Bakr bin Mubasysyir Al Anshari, katanya:
كُنْتُ أَغْدُو مَعَ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلَى الْمُصَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
فَنَسْلُكُ بَطْنَ بَطْحَانَ حَتَّى نَأْتِيَ الْمُصَلَّى فَنُصَلِّيَ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَرْجِعَ مِنْ
بَطْنِ بَطْحَانَ إِلَى بُيُوتِنَا
Saya berangkat pagi-pagi bersama para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menuju lapangan pada hari Idul
Fitri dan Idul Adha, kami menempuh lembah Bath-han sampai kami datang ke
lapangan lalu kami shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
kemudian kami pulang melewati lembah Bath-han ke rumah-rumah kami. (HR.
Abu Daud No. 1158, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1100, Al Baihaqi
dalam As Sunan Al Kubra No. 6048, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul
‘Ummal No. 24520, katanya: Ibnu Sikkin berkata isnadnya shaalih (baik).
Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1156)
Sebagian ulama mendhaifkan hadits, namun demikian hal
ini tidak mengubah hakikat masalah ini, yakni menempuh jalan berbeda
antara pergi dan pulang adalah sunah, bukan wajib.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
ولكن يدل على أن الإنسان له أن يذهب من طريق ويرجع من نفس طريقه دون أن
يخالف الطريق، لكن الحديث غير ثابت؛ لأن فيه من هو ضعيف ومن هو مجهول،
والثابت هو ما تقدم من أنه يخالف الطريق، وأنه يذهب من طريق ويرجع من طريق،
وهذا سنة، ولو أن الإنسان ذهب من طريقه ورجع من طريقه فلا بأس بذلك،
فالذهاب من طريق والرجوع من طريق أخرى ليس بواجب وإنما هو مستحب، إن فعله
الإنسان أثيب وإن لم يفعله فلا شيء عليه
Tetapi hadits ini menunjukkan bahwa manusia dapat
pergi dan pulang melalui jalan yang sama tanpa menempuh jalan yang
berbeda, tetapi hadits ini tidak tsaabit (kuat), karena di dalamnya
terdapat perawi yang lemah dan majhuul, yang shahih adalah hadits yang
telah lalu bahwa nabi menempuh jalan yang berbeda, Beliau pergi melalui
sebuah jalan dan kembali melalui jalan yang lain, dan ini adalah sunah.
Seandainya manusia pergi melalui sebuah jalan lalu pulang lewat jalan
itu lagi, hal itu tidak apa-apa. Jadi, pergi menempuh suatu jalan dan
pulangnya menempuh jalan lain adalah bukan hal yang wajib, itu hanya
mustahab (disukai), jika manusia melakukannya maka dia mendapatkan
pahala, jika tidak, maka tidak apa-apa. (Syarh Sunan Abi Daud, 6/470)
Mengucapkan selamat hari raya: “taqabbalallahu minna wa minka”
Telah diriwayatkan dari Al Watsilah, bahwa beliau berjumpa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengucakan: Taqabballahu minna wa
minka (Semoga Allah menerima amal kami dan Anda). Namun sanad riwayat
ini dhaif (lemah/tidak valid), sebagaimana yang dikatakan Al Imam Al
Hazifh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Bari. Namun, Imam Ibnu
Hajar berkata:
وَرَوَيْنَا فِي ” الْمَحامِلِيَّاتِ ” بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ
جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ ” كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك ”
“Kami meriwayatkan dalam kitab Al Mahalliyat, dengan sanad yang hasan
(bagus), dari Jubeir bin Nufair, katanya: dahulu para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa pada hari
raya, satu sama lain berkata: “taqabbalallahu minna wa minka.” (Fathul
Bari, 2/446. Darul Fikr)
Hal ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Ziyad, bahwa beliau
bersama Abu Umamah Al Bahili dan para sahabat nabi lainnya, bahwa mereka
jika satu sama lain berjumpa sepulang shalat Id, mengucapkan:
taqabballahu minna wa minka. Menurut Imam Ahmad bin Hambal sanadnya
jayyid (bagus/baik). (Syaikh Al Albani, Tamamul Minnah, hal. 355-356)
Bersenang-senang dan bergembira dengan mengadakan pesta dan permainan yang halal
Bersenang dan bergembira ketika hari raya adalah bagian dari
ketentuan syariat, selama semua dilakukan sesuai syariat pula, tidak
berlebihan, dan tidak membuat lupa dengan kewajiban.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
اللعب المباح، واللهو البرئ، والغناء الحسن، ذلك من شعائر الدين التي شرعها الله في يوم العيد، رياضة للبدن وترويحا عن النفس
Melakukan permainan yang dibolehkan, gurauan yang baik, nyanyian yang
baik, semua itu termasuk di antara syiar-syiar agama yang Allah
tetapkan pada hari raya , untuk menyehatkan badan dan
mengistirahatkan jiwa. (Fiqhus Sunnah, 1/323)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ
وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ
الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ
قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ
الْفِطْرِ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, saat itu
mereka memiliki dua hari untuk bermain-main. Lalu Beliau bersabda: “Dua
hari apa ini?” Mereka menjawab: “Dahulu, ketika kami masih jahiliyah
kami bermain-main pada dua hari ini.” Maka Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan buat
kalian dua hari itu dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Adha dan
Idul Fitri.” (HR. Abu Daud No. 1134, Ahmad No. 12006, Al Baihaqi dalam
As Sunan Al Kubra No. 5918, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1091, Abu
Ya’la No. 3820)[5]
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bercerita:
أَنَّ الْحَبَشَةَ كَانُوا يَلْعَبُونَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، قَالَتْ: فَاطَّلَعْتُ مِنْ
فَوْقِ عَاتِقِهِ ، فَطَأْطَأَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْكِبَيْهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمْ مِنْ فَوْقِ
عَاتِقِهِ حَتَّى شَبِعْتُ، ثُمَّ انْصَرَفْتُ
Orang-orang Habasyah (Etiopia) mengadakan permainan di hadapan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari raya. Dia (‘Aisyah)
berkata: “Aku pun menonton di atas bahunya, dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam merendahkan bahunya untukku, sehingga aku bisa melihat
mereka di atas bahunya sampai aku puas, kemudian aku berpaling.” (HR.
Ahmad No. 24296, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1798, dan Sunan
An Nasa’i No. 1594. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa
Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1594, juga Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Lihat
Ta’liq Musnad Ahmad No. 24296)
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga cerita:
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ
تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ
وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ
الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا
وَهَذَا عِيدُنَا
“Abu Bakar masuk ke rumah dan di hadapanku ada dua orang jariyah
(budak remaja wanita) dari Anshar, mereka berdua sedang bernyanyi dengan
syair yang mengingatkan kaum Anshar terhadap hari perang Bu’ats.” Dia
(‘Aisyah) berkata: “Mereka berdua bukanlah penyanyi.” Lalu Abu Bakar
berkata: “Apakah seruling-seruling syetan ada di rumah Rasulullah?” Saat
itu sedang hari raya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Wahai Abu Bakar, Setiap kaum ada hari rayanya, dan hari ini
adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari No. 952, Muslim No. 892, Imam
Muslim menambahkan bahwa dua jariyah ini memainkan duff /rebana)[6]
Dalam riwayat lain ada tambahan:
دعهن يا أبا بكر فإنها أيام عيد فتعلم يهود أن فى ديننا فسحة إنى أرسلت بحنيفية سمحة
Biarkan mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya ini adalah hari raya,
agar orang Yahudi tahu bahwa pada agama kita ada kelapangan, dan aku
diutus dengan membawa agama yang hanif lagi lapang. (HR. Ahmad No.
24855, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 40628. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hadits ini kuat, dan sanadnya hasan.
Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24855)
Bertakbir Pada Hari Raya
Kita dianjurkan untuk bertakbir pada hari raya, selain ini menjadi
syiar Islam yang begitu kuat, ini juga diperintahkan dalam Al Quran dan
dicontohkan dalam As Sunnah.
- Untuk bertakbir pada Idul Fitri
Allah Ta’ala berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al Baqarah (2): 185)
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al Baqarah (2): 185)
Waktunya
Ayat di atas dijadikan dalil oleh Imam Asy Syafi’i dan yang
menyepakatinya, bahwa bertakbir pada hari Idul Fitri adalah dimulai
ketika berakhirnya Ramadhan pada saat tenggelamnya matahari. Istilah di
negeri kita adalah malam takbiran. Pada ayat ini, diperintahkan untuk
mulai bertakbir ketika sudah sempurna bilangan puasanya, dan bilangan
puasa telah cukup sempurna setelah mereka berbuka pada puasa terakhir
Ramadhan di malam harinya.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
وقال قوم التكبير من ليلة الفطر إذا رأوا الهلال حتى يغدوا إلى المصلى وحتى يخرج الامام
Segolongan ulama mengatakan bahwa bertakbir dilakukan sejak malam
hari raya Idul Fitri jika telah terlihat hilal, sampai pagi hari hari
menuju lapangan dan sampai keluarnya imam ke tempat shalat. (Fiqhus
Sunnah, 1/325)
Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata dalam Al Umm ketika mengomentari ayat di atas:
فَسَمِعْت من أَرْضَى من أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ أَنْ يَقُولَ
لِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ عِدَّةَ صَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَتُكَبِّرُوا
اللَّهُ عِنْدَ إكْمَالِهِ على ما هَدَاكُمْ وَإِكْمَالُهُ مَغِيبُ
الشَّمْسِ من آخِرِ يَوْمٍ من أَيَّامِ شَهْرِ رَمَضَانَ
Aku mendengar dari orang-orang yang aku ridhai dari kalangan ulama
yang mengerti Al Quran, yang mengatakan “Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya” yaitu bilangan puasa di bulan Ramadhan, dan bertakbir
ketika sempurna bilangannya “atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu”
sempurnanya itu adalah ketika tenggelamnya matahari pada akhir hari di
hari-hari bulan Ramadhan.
Lalu, Imam Asy Syafi’i melanjutkan:
فإذا رَأَوْا هِلَالَ شَوَّالٍ أَحْبَبْتُ أَنْ يُكَبِّرَ الناس
جَمَاعَةً وَفُرَادَى في الْمَسْجِدِ وَالْأَسْوَاقِ وَالطُّرُقِ
وَالْمَنَازِلِ وَمُسَافِرِينَ وَمُقِيمِينَ في كل حَالٍ وَأَيْنَ كَانُوا
وَأَنْ يُظْهِرُوا التَّكْبِيرَ وَلَا يَزَالُونَ يُكَبِّرُونَ حتى
يَغْدُوَا إلَى الْمُصَلَّى وَبَعْدَ الْغُدُوِّ حتى يَخْرُجَ الْإِمَامُ
لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَدَعُوا التَّكْبِيرَ
Maka, jika sudah terlihat hilal bulan Syawal aku suka bila manusia bertakbir baik secara berjamaah atau sendiri di masjid, pasar, jalan-jalan, rumah-rumah, para musafir, dan para mukimin pada setiap keadaan, di mana saja mereka berada hendaknya menampakkan takbirnya, dan terus menerus takbir sampai datangnya pagi hingga menunju lapangan dan setelah itu sampai imam keluar untuk shalat, kemudian mereka sudahi takbir itu. (Al Umm, 1/231. Darul Ma’rifah)
Maka, jika sudah terlihat hilal bulan Syawal aku suka bila manusia bertakbir baik secara berjamaah atau sendiri di masjid, pasar, jalan-jalan, rumah-rumah, para musafir, dan para mukimin pada setiap keadaan, di mana saja mereka berada hendaknya menampakkan takbirnya, dan terus menerus takbir sampai datangnya pagi hingga menunju lapangan dan setelah itu sampai imam keluar untuk shalat, kemudian mereka sudahi takbir itu. (Al Umm, 1/231. Darul Ma’rifah)
Tetapi jumhur ulama mengatakan, bahwa mulainya adalah sejak pagi hari menuju lapangan hingga khutbah Id.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
وجمهور العلماء على أن التكبير في عيد الفطر من وقت
الخروج إلى الصلاة إلى ابتداء الخطبة.وقد روي في ذلك أحاديث ضعيفة وإن
كانت الرواية صحت بذلك عن ابن عمر وغيره من الصحابة. قال الحاكم: هذه سنة
تداولها أهل الحديث.وبه قال مالك وأحمد وإسحق وأبو ثور.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bertakbir pada Idul Fitri dimulai sejak keluar menuju shalat Id, sampai mulainya khutbah. Hal itu telah diriwayatkan dalam hadits-hadits dhaif, walau ada yang shahih hal itu dari Ibnu Umar dan selainnya dari kalangan sahabat nabi. Berkata Al Hakim: ini adalah sunah yang tersebar dikalangan ahli hadits. Dan inilah pendapat Malik, Ahmad, ishaq, dan Abu Tsaur. (Fiqhus Sunnah, 1/325) Shighat (Bentuk Kalimat) Takbir
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah merinci sebagai berikut:
- Bacaan takbir menurut kalangan Hanafiyah dan Hanabilah
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bertakbir pada Idul Fitri dimulai sejak keluar menuju shalat Id, sampai mulainya khutbah. Hal itu telah diriwayatkan dalam hadits-hadits dhaif, walau ada yang shahih hal itu dari Ibnu Umar dan selainnya dari kalangan sahabat nabi. Berkata Al Hakim: ini adalah sunah yang tersebar dikalangan ahli hadits. Dan inilah pendapat Malik, Ahmad, ishaq, dan Abu Tsaur. (Fiqhus Sunnah, 1/325) Shighat (Bentuk Kalimat) Takbir
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah merinci sebagai berikut:
- Bacaan takbir menurut kalangan Hanafiyah dan Hanabilah
Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha Illallah wallahu Akbar Allahu Akbar (dibaca 2 kali), lalu walillahil hamd.
Bacaan ini berdasarkan riwayat dari Jabir, dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan juga yang dibaca dua khalifah, dan juga Ibnu
Mas’ud.
- Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah dalam pendapat barunya (Qaul Jadid)
(Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar) dan ini adalah yang terbaik
menurut Malikiyah, jika mau menambahkan (Laa Ilaha Ilallah wallahu Akbar
Allahu Akbar wa Lillahil Hamd), maka ini bagus, amalan ini berdasarkan
riwayat dari Jabir dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, disunahkan
menurut Syafi’iyah setelah membaca takbir yang ketiga: (Allahu Akbar
Kabira wal Hamdulillah Katsira wa Subhanallahu Bukrataw wa Ashila),
sebagaimana yang nabi ucapkan di bukti Shafa. Disunahkan pula setelah
itu dengan menambahkan:
لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه، مخلصين له الدين ، ولو كره
الكافرون، لا إله إلا الله وحده، صدق وعده، ونصر عبده، وهزم الأحزاب وحده،
لا إله إلا الله والله أكبر
Tambahan ini dilakukan jika mau saja menurut Hanafiyah, lalu ditutup dengan membaca:
اللهم صلِّ على محمد وعلى آل محمد، وعلى أصحاب محمد، وعلى أزواج محمد، وسلم تسليماً كثيراً
Demikian. (Lihat Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 2/532)
Imam Ath Thabarani meriwayatkan tentang takbirnya Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:Demikian. (Lihat Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 2/532)
أنه كان يكبر صلاة الغداة من يوم عرفة ويقطع صلاة العصر من يوم النحر يكبر إذا صلى العصر قال : وكان يكبر الله أكبرالله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Bahwasanya Abdullah bin Mas’ud bertakbir pada shalat subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), dan memutuskannya pada shalat ‘ashar hari nahr (penyembelihan), Beliau bertakbir jika shalat ‘ashar: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa Ilaha Illallah wallahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd.” (Al Mu’jam Al Kabir No. 9538. Lihat juga Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 5679, )
Serupa dengan ini juga dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. (Kanzul ‘Ummal No. 12754)
Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir sejak shalat subuh pada hari ‘Arafah, hingga hari-hari tasyriq, tidak bertakbir pada maghribnya. Kalimat takbir Ibnu Abbas:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
Allahu Akbar Kabira (2X), Allahu Akbar wa Ajall, Allahu Akbar wa lillahil Hamd. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 5692)
Mana saja dari kalimat ini yang kita pakai, maka semuanya adalah baik. Ini adalah masalah yang lapang dan luwes.
Dianjurkan Mengeraskan Suara
Tertulis di dalam Al Mausu’ah:
أَمَّا التَّكْبِيرُ فِي عِيدِ الْفِطْرِ فَيَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يُكَبَّرُ فِيهِ جَهْرًا وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ } قَال ابْنُ عَبَّاسٍ : هَذَا وَرَدَ فِي عِيدِ الْفِطْرِ بِدَلِيل عَطْفِهِ عَلَى قَوْله تَعَالَى : { وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ } وَالْمُرَادُ بِإِكْمَال الْعِدَّةِ بِإِكْمَال صَوْمِ رَمَضَانَ
Ada pun pada Idul Fitri jumhur (mayoritas) fuqaha memandang bahwa bertakbir dilakukan dengan suara dikeraskan. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,” berkata Ibnu Abbas: ayat ini berbicara tentang Idul Fitri karena kaitannya dengan firmanNya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya,” maksudnya dengan menyempurnakan jumlahnya, dengan menggenapkan puasa Ramadhan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 13/213)
Ada pun kalangan Hanafiyah mereka menganjurkan bertakbir secara disirr-kan, pada hari raya Idul Fitri. Berikut ini keterangannya:
وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ إِلَى عَدَمِ الْجَهْرِ بِالتَّكْبِيرِ فِي عِيدِ الْفِطْرِ لأِنَّ الأْصْل فِي الثَّنَاءِ الإْخْفَاءُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل } وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ. وَلأِنَّهُ أَقْرَبُ مِنَ الأْدَبِ وَالْخُشُوعِ ، وَأَبْعَدُ مِنَ الرِّيَاءِ
Pendapat Abu Hanifah adalah takbir tidak dikeraskan saat Idul Fitri, karena pada asalnya pujian itu mesti disembunyikan, karena Allah Ta’ala berfirman: “dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara,” dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sebaik-baiknya dzikir adalah yang tersembunyi.” [7] Karena hal itu lebih dekat dengan adab, khusyu’, dan lebih jauh dari riya’. (Al Mausu’ah, 13/214)
- Takbir Pada Idhul Adha
Allah Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan. (QS. Al Baqarah (2): 203) Maksud “hari-hari yang telah ditentukan” adalah hari-hari tasyriq, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas. (Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar No. 3354)
Waktunya
Bertakbir pada Idul Adha, sudah dimulai sejak pagi hari 9 Dzulhijah hingga akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah) sebelum maghrib. Sebenarnya tidak ada keterangan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, oleh karena itu mereka berbeda dalam kapankah mulainya? Dan kapan berakhirnya? Ada pun sebagian sahabat melakukannya sejak subuh hari Arafah hingga ashar 13 Dzulhijjah, itulah yang dilakukan oleh para sahabat seperti Ali dan Ibnu Mas’ud sebagaimana keterangan sebelumnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menceritakan:
وَلِلْعُلَمَاءِ اِخْتِلَافٌ أَيْضًا فِي اِبْتِدَائِهِ وَانْتِهَائِهِ فَقِيلَ : مِنْ صُبْحِ يَوْمِ عَرَفَةَ ، وَقِيلَ مِنْ ظُهْرِهِ ، وَقِيلَ مِنْ عَصْرِهِ ، وَقِيلَ مِنْ صُبْحِ يَوْمِ النَّحْرِ ، وَقِيلَ مِنْ ظُهْرِهِ . وَقِيلَ فِي الِانْتِهَاءِ إِلَى ظُهْرِ يَوْمِ النَّحْرِ ، وَقِيلَ إِلَى عَصْرِهِ ، وَقِيلَ إِلَى ظُهْرِ ثَانِيهِ ، وَقِيلَ إِلَى صُبْحِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ، وَقِيلَ إِلَى ظُهْرِهِ ، وَقِيلَ إِلَى عَصْرِهِ . حَكَى هَذِهِ الْأَقْوَالَ كُلَّهَا النَّوَوِيُّ إِلَّا الثَّانِيَ مِنْ الِانْتِهَاءِ . وَقَدْ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ أَصْحَابِ اِبْنِ مَسْعُودٍ وَلَمْ يَثْبُتْ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثٌ ، وَأَصَحُّ مَا وَرَدَ فِيهِ عَنْ الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ مِنْ صُبْحِ يَوْمِ عَرَفَةَ آخِرِ أَيَّامِ مِنًى أَخْرَجَهُ اِبْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
Para ulama berbeda pendapat juga tentang mulai dan berakhirnya. Ada yang bilang: sejak subuh hari ‘Arafah, ada pula yang bilang sejak zhuhur, ada yang sejak ashar, ada yang bilang sejak subuh hari nahr (penyembelihan – 10 Dzulhijah, pen), ada yang bilang sejak zhuhur hari nahr. Ada yang mengatakan berakhirnya sampai zhuhur hari nahr, ada yang bilang sampai ashar, ada yang bilang sampai zhuhur hari tasyriq kedua, ada yang bilang sampai subuh pada akhir hari tasyriq, ada yang bilang sampai zuhurnya, dan ada yang sampai asharnya. Semua pendapat ini diceritakan oleh An Nawawi kecuali pendapat berakhirnya takbir sampai zhuhur hari kedua tasyriq. Dan, Al Baihaqi telah meriwayatkan dari para sahabat, dari Ibnu Mas’ud. Tidak ada yang pasti sedikit pun hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hal ini, yang shahih adalah apa yang diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud bahwa mereka melakukannya sejak subuh hari Arafah hingga akhir hari-hari di Mina –hari tasyriq. (Fathul Bari, 2/462) Syaikh Sayyid Sabiq menambahkan:
ووقته في عيد الاضحى من صحيح يوم عرفة إلى عصر أيام التشريق وهي اليوم الحادي عشر، والثاني عشر، والثالث عشر من ذي الحجة.
Waktu bertakbir bagi Idul Adha yang shahih adalah sejak hari ‘Arafah sampai ashar hari-hari tasyriq, yaitu 11,12,13, dari Dzulhijjah. (Fiqhus Sunnah, 1/325)
Sebenarnya, dalam hadits shahih ada isyarat bahwa mulainya bertakbir bagi Idul Adha adalah sejak hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), yaitu beberapa riwayat berikut:
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari ‘Arafah, hari penyembelihan qurban, hari-hari tasyriq, adalah hari raya kita para pemeluk islam, itu adalah hari-hari makan dan minum. (HR. At Tirmidzi No. 773, katanya: hasan shahih, Ad Darimi No. 1764, Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1586, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tetapi mereka tidak meriwayatkannya.” )
Dari Nubaisyah Al Hudzalli, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum. (HR. Muslim No. 1141) ), dan dalam riwayat Abu Al Malih ada tambahan: “dan hari berdzikir kepada Allah.” (HR. Muslim No. 1141)
Maka jika dipadukan semua hadits ini kita simpulkan, hari berdzikir (bertakbir) sudah dimulai sejak hari ‘Arafah hingga hari tasyriq. Dan, yang dilakukan para sahabat adalah sejak subuh hari ‘Arafah hingga ashar 13 Dzulhijjah.
Pada hari-hari tersebut (9,10,11,12,13 Dzulhijjah) kita bisa melakukan takbir kapan pun, sejak subuh tanggal 9 hingga ashar tanggal 13. Kita bisa melakukannya di masjid, setelah shalat wajib, di pasar, di rumah, dan di mana pun tempat yang layak untuk berdzikir.
Khadimus Sunnah, Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah rahmatan waasi’ah berkata:
والتكبير في أيام التشريق لا يختص استحبابه بوقت دون وقت، بل هو مستحب في كل وقت من تلك الايام.
قال البخاري: وكان عمر رضي الله عنه يكبر في قبته بمنى فيسمعه أهل المسجد فيكبرون ويكبر أهل السوق حتى يرتج منى تكبيرا. وكان ابن عمر يكبر بمنى تلك الايام وخلف الصلوات وعلى فراشه وفي فسطاطه ومجلسه وممشاه تلك الايام جميعا، وكانت ميمونة تكبر يوم النحر، وكان النساء يكبرن خلف أبان بن عثمان وعمر بن عبد العزيز ليالي التشريق مع الرجال في المسجد
Bertakbir pada hari-hari tasyriq tidak dikhususkan kesunahannya itu pada satu waktu tidak pada waktu lainnya, tetapi disunahkan pada tiap kesempatan di hari-hari itu. Imam Al Bukhari berkata: “Umar Radhiallahu ‘Anhu bertakbir di Kubah di kota Mina, hal itu didengar oleh orang di masjid maka mereka ikut bertakbir, dan bertakbir pula orang yang ada di pasar, sehingga kota Mina riuh dengan takbir. Ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu, baik setelah shalat, di atas tempat tidur, ketika duduk, atau ketika berjalan, pada hari itu semuanya. Maimunah bertakbir pada hari nahr (10 Dzulhijah), kaum wanita bertakbir bersama kaum laki-laki di masjid pada malam-malam tasyriq, di belakang Abban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz. (Fiqhus Sunnah, 1/326)
Namun, sebagian ulama ada yang merinci waktunya dan tata caranya. Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menceritakan sedikit perbedaan waktu-waktu takbir tersebut, sebagai berikut:
وَقَدْ اِشْتَمَلَتْ هَذِهِ الْآثَارُ عَلَى وُجُودِ التَّكْبِيرِ فِي تِلْكَ الْأَيَّامِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْأَحْوَالِ . وَفِيهِ اِخْتِلَافٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِي مَوَاضِعَ : فَمِنْهُمْ مَنْ قَصَرَ التَّكْبِيرَ عَلَى أَعْقَابِ الصَّلَوَاتِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ خَصَّ ذَلِكَ بِالْمَكْتُوبَاتِ دُونَ النَّوَافِلِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ خَصَّهُ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ ، وَبِالْجَمَاعَةِ دُونَ الْمُنْفَرِدِ ، وَبِالْمُؤَدَّاةِ دُونَ الْمَقْضِيَّةِ ، وَبِالْمُقِيمِ دُونَ الْمُسَافِرِ ، وَبِسَاكِنِ الْمِصْرِ دُونَ الْقَرْيَةِ . وَظَاهِرُ اِخْتِيَارِ الْبُخَارِيِّ شُمُولُ ذَلِكَ لِلْجَمِيعِ ، وَالْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا تُسَاعِدُهُ
Semua atsar ini memuat bahwa adanya takbir itu adalah dilakukan pada hari-hari itu, setelah shalat, dan dilakukan pula pada berbagai keadaan lain. Para ulama berbeda pendapat dalam berbagai hal: diantara mereka ada yang mempersempit bahwa takbir itu hanya setelah shalat, ada pula yang mengkhususkan lagi hanya pada shalat wajib bukan sunah, ada yang mengkhsuskan itu hanya buat laki-laki bukan wanita, pada shalat berjamaah bukan shalat sendiri, pada shalat yang dilakukan pada waktunya bukan shalat qadha, bagi orang yang mukim bukan musafir, dan pada kota-kota besar bukan pedesaan. Pendapat yang benar, yang dipilih oleh Imam Al Bukhari adalah bertakbir bisa dilakukan pada semua waktu dan keadaan tersebut, dan atsar-atsar yang telah disebutkan mendukung pendapatnya itu. (Fathul Bari, 2/462)
Apa yang dipilih oleh Imam Al Bukhari nampaknya lebih baik, karena tidak ada petunjuk yang mengkhususkannya, apalagi petunjuk dari para sahabat menunjukkan bahwa bertakbir bisa dilakukan kapan saja, pada hari-hari tersebut. Wallahu A’lam
Dianjurkan dikeraskan
Dalam hal ini, tidak ada beda pendapat para fuqaha, bahwa sunahnya mengeraskan takbir Idul Adha. Berbeda dengan Idul fitri yang masih terjadi perselisihan.
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي جَوَازِ التَّكْبِيرِ جَهْرًا فِي طَرِيقِ الْمُصَلَّى فِي عِيدِ الأْضْحَى
Tidak ada perbedaan pendapat di antara fuqaha tentang kebolehan bertakbir dengan dikeraskan di jalan menuju lapangan saat Idul Adha. (Al Mausu’ah, 13/213)
Tentang bentuk kalimat takbirnya, sama dengan takbir pada Idul Fitri.
Selesai. Wallahu A’lam
Sumber : http://faridnuman.blogspot.com/2011/10/beberapa-adab-dan-sunah-berhari-raya.html