Wednesday, 31 July 2013

HUKUM ZAKAT DIPAKAI UNTUK KEMASLAHATAN UMUM

Zakat fitrah sebagaimana zakat harta hanya boleh dibagikan untuk golongan yang delapan atau sembilan orang yang sudah disebut dalam Al-Quran. Bukan kepada desa. Kecuali apabila desa membagikannya pada orang miskin atau siapa saja yang berhak. Bukan untuk kas desa. Namun kalau sudah terlanjur, maka tidak apa-apa mengikuti pendapat sebagian kecil ulama yang membolehkannya. Asal tidak diulangi lagi pada tahun berikutnya demi menghindari pendapat yang berbeda.

Untuk pembagian zakat yang tidak merata itu tidak masalah.

JAWABAN DETAIL:

HIKMAH ZAKAT FITRAH (FITROH)

Salah satu hikmah dan tujuan dari zakat fitrah adalah untuk mensucikan orang yang berpuasa Ramadan dari kekotoran ucapan dan perilaku serta memberi makan orang-orang miskin seperti sabda Nabi dalam sebuah hadits sahih riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruqutni sbb:

زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث، وطعمة للمساكين

Dalam hadits lain riwayat Daruqutni, Ibnu Adi dan Ibnu Sa'd Nabi bersabda أغنوهم عن الطواف في هذا اليوم
Artinya: berilah mereka (orang miskin) makan dan penuhi kebutuhan mereka pada hari ini (yakni hari raya Idul Fitri).

HUKUM PEMBAGIAN ZAKAT FITRAH TIDAK MERATA

Hukumnya boleh membagi satu zakat fitrah untuk beberapa orang miskin. Atau satu orang miskin menerima beberapa zakat fitrah dari beberapa orang pembayar zakat.

BAYAR ZAKAT DENGAN UANG

Membayar zakat dengan uang ada dua pendapat ulama fiqih.

Pertama, tidak boleh membayar zakat dengan uang tapi harus dengan makanan pokok. Ini pendapat 3 (tiga) imam madzhab yaitu Malik (madzhab Maliki), Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal (madzhab Hanbali).

Kedua, boleh membayar zakat dalam bentuk uang atau lainnya. Ini pendapat Hanafi dan ulama dalam madzhab Hanafi, Sofyan Tsauri, Hasan Al-Bashri, Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Hasan Al-Bashri mengatakan لا بأس أن تعطى الدراهم في صدقة الفطر (Tidak apa-apa membayar zakat fitrah dengan dirham - uang perak).

Ibnul Mundzir berkata dalam Al-Awsath

إن الصحابة أجازوا إخراج نصف صاع من القمح ؛ لأنهم رأوه معادلاً في القيمة للصاع من التمر ، أو الشعير
Artinya: Sahabat membolehkan mengeluarkan setengah sha' tepung gandum, karena dianggap sama nilainya dengan 1 sha' kurma atau biji sya'ir.

MENYALURKAN ZAKAT KEPADA YAYASAN, MADRASAH, MASJID, DLL SELAIN GOLONGAN YANG DELAPAN

Zakat fitrah atau zakat mal hanya boleh dibagikan atau disalurkan kepada 8 (delapan) golongan yang disebut dalam QS At-Taubah ayat 60 dan tidak boleh dibagikan kepada selain mereka seperti untuk pembangunan atau renovasi masjid, madrasah, jembatan, waduk atau irigasi, perbaikan jalan, mengkafani mayit, menjamu tamu, membuat pagar, dan lain-lain yang tidak disebut dalam Al-Quran. Ini pendapat jumhur(mayoritas) ulama fiqih.

Namun, Qadhi Iyad dalam Nailul Autar VII/115 mengutip pendapat ulama yang membolehkan penyalursan zakat untuk kemaslahatan umum.

TATACARA PEMBAGIAN ZAKAT

Zakat adalah rukun Islam ketiga yang berbentuk ibadah maliyah ijtima'iyyah (berdimensi ekonomi dan sosial) yang salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin serta mustahiq lainnya. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka Allah SWT telah menetapkan orang-orang yang berhak menerima zakat, yang dikenal dengan istilah para mustahiq (mustahiqqin) yang berjumlah delapan kelompok.

Dalam suatu masyarakat, tidak selamanya dapat dijumpai para mustahiq yang mewakili delapan kelompok secara keseluruhan, sehingga menimbulkan pertanyaan sebagian umat Islam, “ Apakah zakat yang telah dihimpun oleh panitia harus dibagi-bagikan kepada delapan kelompok mustahiq zakat secara merata atau tidak?".

Untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang tata cara pembagian zakat kepada para mustahiq, apakah harus dibagi-bagikan kepada delapan kelompok mustahiq zakat secara merata atau tidak, Komisi Fatwa MUI Propinsi DKI Jakarta memandang perlu untuk memfatwakan tentang tata cara pembagian zakat kepada para mustahiq, sebagai berikut:
Bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah adalah orang-orang yang termasuk dalam salah satu dari delapan ashnaf yang telah disebutkan Allah SWT dalam surat at- Taubah ayat 60 sebagai berikut:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَاْلمَسَاكِيْنِ وَالعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَاْلمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالغَارِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِّنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ(60) التوية.

Artinya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. At-Taubat,9:60



Para ulama berbeda pendapat tentang keharusan membagikan zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah kepada delapan ashnaf di atas secara merata. Menurut ulama-ulama madzhab Syafi'i, zakat harus dibagikan kepada delapan ashnaf di atas secara merata dan masing-masing ashnaf minimal terdiri dari tiga orang. Sungguh pun demikian, jika pada waktu pembagian zakat yang ada hanya beberapa ashnaf saja, maka zakat boleh dibagikan hanya kepada beberapa ashnaf yang ada tanpa harus menyisihkan pembagian zakat untuk ashnaf yang tidak ada. Sementara itu, menurut Jumhur Ulama (mayoritas ulama) yang terdiri dari ulama-ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, bahwa zakat tidak harus dibagikan kepada delapan ashnaf di atas secara merata, melainkan boleh hanya dibagikan kepada salah satu dari delapan ashnaf di atas.

Berdasarkan penjelasan di atas, jika pada saat pembagian zakat yang ada hanya beberapa ashnaf saja, maka zakat boleh dibagikan kepada ashnaf yang ada tanpa harusdisisihkan untuk ashnaf lain yang tidak ada pada saat itu. Jika seluruh hasil pengumpulan zakat sudah dibagikan semua ternyata muncul ashnaf lain yangbelum menerimanya, maka mereka tidak berhak menuntut pembagian zakat.


 
1. urutan pembagian zakat adalah :
. Fuqara :
fuqara dalam hukum syariah adalah orang yg penghasilannya hanya mencukupi 40% dari kebutuhannya, seandainya kebutuhannya (atau dg keluarga tanggungannya, mungkin dg ayah ibunya dan istri anaknya), andai kebutuhannya 100 ribu sebulan, dan pendapatannya hanya 40 ribu atau kurang (40% atau kurang). inilah yg disebut fuqara, walaupun ia punya usaha, atau rumah yg dikontrakkan, atau kendaraan yg digunakan usaha, yg jelas penghasilannya hanya 40% (atau kurang). dari kebutuhan Primernya (bukan kebutuhan sekunder).
dan bila mereka mempunyai pendapatan yg minim namun mereka mempunyai harta yg bersifat Sekunder, seperti televisi, kendaraan dlsb yg bukan digunakan untuk usaha, maka mereka tidak tergolong fuqara, dan tidak berhak mendapat Zakat.
2. Masakiin
Masakiin adalah orang orang miskin, dan penjelasannya sama dengan diatas, namun perbedaannya bahwa orang miskin di dalam hukum Syariah adalah mereka yg penghasilannya hanya 80% (atau kurang), dari kebutuhannya, mereka ini taraf hidupnya diatas fuqara, namun masih berkekurangan. mereka berhak menerima zakat.
singkatnya :
penghasilan 0% – 40% adalah fuqara —–> tidak wajib zakat, dan berhak mendapat zakat.
41% – 80% adalah orang miskin ——> tidak wajib zakat, dan berhak mendapat zakat
81% – 100% ——-> adalah kelompok yg tidak wajib zakat dan tidak pula berhak mendapat zakat.
100% – hingga berlebihan —–> kelompok yg diwajibkan mengeluarkan zakat dan tidak berhak menerima zakat.
3. Ghaarimiin
orang yg terlibat hutang dan belum mampu melunasi hutangnya. mereka ini ada 4 kelompok
a). orang yg berhutang untuk mendamaikan dua kelompok yg bertentangan, ia berhak mendapat zakat untuk bantuan melunasi hutangnya yg belum mampu ia lunasi, walaupun ia seorang kaya raya. (seandainya hutangnya 100 juta, dan ia mampu melunasi nya dalam setahun, maka dalam tempo satu tahun itu ia berhak menerima zakat).
b). orang yg belum mampu melunasi hutangnya yg hutangnya adalah untuk maslahat muslimin, misalnya membangun masjid, membuat jalan, madrasah agama, majelis taklim dll. walaupun ia kaya raya, sebagaimana penjelasan diatas.
c). orang yg belum mampu melunasi hutang dirinya sendiri, selama hutangnya itu bukan untuk maksiat.
d). orang yg berhutang untuk menjamin hutang orang lain, atau menebus keselamatan seseorang, selama tidak terlibat dalam kemaksiatan.
4. Musafirun wa Ibnu Sabiil
orang yg dalam perjalanan, dan ingin kembali kerumahnya namun ia tak punya ongkos yg cukup, sebab kerampokan atau kehilangan dlsb, walaupun ia seorang kaya raya di kampungnya. (hal seperti ini mungkin di zaman sekarang jarang terjadi karena sudah adanya handphone, rekening bank, dlsb, namun paling tidak seandainya ia terjebak dalam kecopetan dan kehilangan atau lainnya, maka dana zakat dikeluarkan paling tidak untuk menghubungi keluarganya di rumahnya untuk mengirim uang, walaupun jumlah kecil namun ia termasuk berhak zakat).
5. 'Aamiluun alaihaa
para pekerja yg bertugas membagi bagikan zakat, walaupun ia seorang kaya raya, dengan syarat ia tidak mendapat gaji/upah dalam kerjanya, misalnya ia seorang Imam Masjid yg sudah ada penghasilan khusus dari kas masjid, maka mereka tidak berhak, ataupun petugas kelurahan yg memang sudah ditunjuk pemerintah untuk pekerja diantaranya mengurus zakat, maka mereka tidak berhak, demikian pula muazin yg sudah ada jatah upah dari masjid.
6. Mu'allafati qulubihim
para muslim yg baru saja memeluk islam dan mereka masih memiliki iman yg lemah dan ditakutkan kembali kepada agamanya, maka mereka berhak atas zakat.
7. Ghuzaat fi sabiilillah
para pejuang yg membela islam yg tidak mendapat upah. mereka siap tempur dan berperang membela islam kapanpun (tentara jihad), namun tidak mendapat upah/gaji penopang nafkah. mereka berhak zakat, namun kelompok ini sudah tidak ada lagi di zaman sekarang, karena ini hanya disyariahkan bagi negara yg berhukumkan Islam
8. Al Kaatibuun Kitaabah Shahihah
mereka yg dalam penebusan diri untuk menebus kebebasan dirinya dari perbudakan, kelompok ini pun sudah tidak ada di zaman sekarang.
maka kelompok pertama hingga nomor enam, adalah mereka yg berhak diberi zakat, namun haruslah berurutan,.
pertama uang zakat ditumpahkan pada Fuqara, bila sudah tak ada fuqara di wilayahnya, atau semua sudah terbagikan zakat, barulah meningkat ke tingkatan kedua yaitu orang orang miskin.. demikian seterusnya.
bila dana zakat sudah terhabiskan bagi fuqara, maka tidaklah kelompok kedua dan lainnya berhak mendapat zakat. demikian seterusnya.
bukan seperti sekarang, dimana amil zakat (para pekerja zakat) segera mengambil jatahnya lebih dahulu sebelum fuqara.
jika berlebihan bisa diteruskan pada wilayah lainnya.
2. diteruskan pada wilayah lain jika wilayahnya sdh kebagian semua.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a'lam

KHUTBAH IEDUL FITHRI BASA SUNDA



HAKIKAT ‘IDUL FITHRI

  الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (أل عمران: 134)
“(Nyaeta) jalma-jalma nu nganafaqohkeun (hartana), boh dina waktu luang oge dina waktu samporet, jeung jalma-jalma nu nahan amarahna jeung mere hampura kana (kasalahan) manusa. Allah mikaresep ka jalma-jalma nu milampah kahadean”. (Ali Imron: 134).

Kecap عِيْدُ(‘Iid) mibanda harti “balik” atawa “mulang”, sedengkeun kecap فِطْرِ (Fithri) mibanda harti “ Suci” atawa “Kasucian” bisa ogé dihartikeun “Agama nu bener” tur bisa mibanda harti ogé “asal kajadian”. Lamun urang mere harti kana kecap فِطْرِ (Fithri) kana harti “Agama nu bener”, maka hal éta téh nuntut ka urang pikeun “nyaluyukeun kana hiji hubungan” sabab nyaluyukeun hiji hubungan mangrupakeun tanda ngagemna hiji agama nu bener nyaéta agama Islam. Tegesna hubungan antara manusa (Makhluq) jeung Allah (Khaliq), ku kituna Kanjeng Nabi saw. Kantos ngadawuh أَلدِّيْنُ الْمُعَامَلَةُ (Ad-Diinu Al-Mu’amalatu) tegesna yen agama téh hiji hubungan. Salian ti éta ogé silih nasehatan ogé silih hargaan kaasup kana ajaran agama, ku kituna Kanjeng Nabi saw. Ngadawuh أَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ (Ad-Diinu An-Nashihatu). Dumasar kana hal éta, maka satiap jalma nu ngalaksanakeun عِيْدُ الْفِطْرِ (‘Idul Fitri) kudu tumuwuh rasa sadar yen satiap jalma ngalakukeun hiji kasalahan, jeung tina kasadaran éta manehna tumuwuh rasa pikeun mere
ogé narima hampura ti batur ngeunaan kasalahan nu geus dilakukeun Kitu keneh lamun Fitrah dihartikeun kana “kasucian”. Hal ieu bisa dirasakeun nalika urang aya dina kaayaan cicing Tafakur (mikir) kana sagala kakawasaan Pangeran, Tadzakur (eling) ka nu maha nyiptakeun, ogé Tasyakur (syukur) kana sagala nikmat Allah swt nu geus dipaparinkeun ka urang. Sahingga karasa tumuwuhna rasa tingtrim bathin, tiis pikir, ayem tengtrem, ogé Tuma’ninah (tenang) kaayaan. Saba’dana nyalsekeun sagala masalah, rengsena kasibukan duniawiyah, maka bakal karasa ogé kadenge hiji sora nu bijil tina ati sanubari ngajak ka urang pikeun ngobrol, ngajak ka urang pikeun ngadeukeutkeun diri ka Nu Maha Suci, ogé nu ngajak ka urang pikeun sadar diri yeng urang téh kacida lemahna di payuneun Nu Maha Agung. Sora nu bijil tina ati sanubari éta téh taya kajaba sora fitrah urang salaku manusa nu salalawasna ngajak pikeun ngabdi, ngaula ka Nu Maha Kawasa.Sora ieu ogé nu sering ngajak ka urang pikeun salalawasna ngagungkeun ka Allah swt. Salalawasna sora ieu téh noelan hate urang pikeun sadar, tapi ku sabab kapangaruhan ku hawa nafsu duniawiyah nu nimbulkeun sibukna urang dina ngudag-ngudag ogé nguruskeunana, nu akhirna ngakibatkeun tumuwuh mangpirang dosa-dosa, maka sora “kasucian” éta téh terkadang ku urang sorangan tara diropea, tara dianggap. Sok padahal sora éta téh taya kajaba nu sering diucapkeun nalika tepungna urang reujeung عِيْدُ الْفِطْرِ (‘Idul Fitri) nyaéta kalimat ‘Takbir’ أللهُ أَكْبَرُ (Allah Nu Maha Agung). ogé nalika urang ngawalan ngalakukeun ibadah sholat. Dumasar kana hal éta, maka nalika kalimat أللهُ أَكْبَرُ (Allah Nu Maha Agung) bener-bener geus sumurup miraga sukma ngahiji ngadarah daging, bakal ngaleungitkeun sagala rasa nu ngagantungkeun kana salian ti Allah swt. Salalawasna bakal ngalahirkeun hiji tangtungan manusa nu wungkul ka Allah ngagantungkeun harepan, wungkul ka Allah ngaula, wungkul ka Allah pikeun Ibadah ogé wungkul ka Allah pikeun minangsaraya miharep pitulung إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ.
Ibnu sina ngajelaskeun dina kitabna Al-Isyarat wa Tanbihat, yen lamun seug manusa neuleuman kan kalimat أللهُ أَكْبَرُ (Allah Nu Maha Agung). maka manehna geus asup kana golongan para ‘Arifin nyaéta jalma-jalma nu bebas tina beungkeutan hawa nafsu duniawiyah, manehna salawasna bakal mapaes dirina ku sifat darehedeh jeung budi nu marahmay, ogé mapaes dirina ku akhlakul karimah. hal ieu timbul tina hatena nu pinuhan ku katingtriman, katumaninahan (katenangan) nu nimbulkeun rasa gumbira, ku sabab salawasna ngahadirkeun hate pikeun ngaagungkeun Allah swt, dina dirina tumuwuh rasa yen hakekatna makhluk kaasup dirina the leutik, lemah, taya kakuatan dipayuneun Allah swt. لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Saterusna Ibnu Sina ngajelaskeun, yen mun manusa geus tumuwuh rasa samodel kitu maka manehna bakal boga anggapan yen rahmat Allah swt milik sarerea, boh pikeun jalma ta’at oge jalma nu loba maksiyat. Manehna moal boga rasa pikeun ngarorek kasalahan batur, nu aya malah sibuk ku menta hampura ka Allah tina sagala kasalahan, manehna bakal jadi jalma nu hampuraan, moal aya rasa dendem, atawa ngucik-ngucik komo nungtun raja wisuna, jauh tina dirina sifat gede ambek sanajan ningali kamunkaran, manehna nyarek moal make jalan kasar komo garihal, estu bakal
nyarek ku jalan nu hade kalayan nerapkeun akhlakul karimah sakumaha nu dicontokeun ku Rosululloh saw. Najan ka dirina aya nu ngahina, nu nyacampah pasti bakal ditarima kalayan hate nu pinuh rasa hampura. Sifat silih pikanyaah, silih pikaasih, silih pikaheman, salawasna jadi papaes dina kahirupan, jauh tina pacengkadan, jauh tina papaseaan. Hal ieu teh akibat tujuan hirupna wungkul hiji nyaeta لِبْتِغَاءِ مَرْضَاتِ الله (Pikeun nyuprih atawa miluruh Ridho Allah swt.).
Makna Kasucian teh gabungan tilu unsur: Bener, hade, jeung endah. Sahingga jalma nu nu ngalaksanakeun عِيْدُ الْفِطْرِ (‘Idul Fitri) nu mibanda harti mulang atawa balik kana kasucian, bakal salawasna mapaes diri ku laku lampah nu bener, hade jeung endah. Sabab, ku akibat tilu unsur eta saupamana jadi papaes diri manusa, maka bakal ngalahirkeun hiji tangtungan jalma nu linuhung jeung pinuji. Manehna bakal salawasna miluruh hal-hal nu hade bari salawasna milampah kahadean bari mapaes diri ku akhlakul karimah nu endah bari salawasna ngajaga, ngariksa oge taat kana tetekon agama jeung darigama kalayan bener-bener. Sabab ku laku lampah nu bener bakal ngalahirkeun hiji tangtungan jalma nu salawasna ngandelan dirina ku elmu pangaweruh. Sabab laku lampah hade bakal ngahadirkeun hate jeung sikep nu pinuji oge ngalahirkeun tata laku pinuh ku kasopanan tegesna akhlakul karimah salawasna mapaes diri, oge ku sabab kaendahan bakal ngalahirkeun seni kahirupan nu endah ditingalina matak jadi eunteung pikeun nu sejen. Ku tilu unsur eta bakal ngahalangan jalma pikeun milampah kasalahan, jauh tina kamaksiyatan.
Jadi dina raraga urang mulang deui kana kasucian tegesna عِيْدُ الْفِطْرِ (‘Idul Fitri), aya sababaraha hal nu kudu dilakukeun, diantarana nyeta:
1. Halal bi Halal
Halal bihalal ngandung unsur silih hampura reujeung silaturahmi. Urang hamo manggihan dina Al-Qur’an atawa Hadits nu nuduhkeun kana ngajelaskeun harti nu pasti ngeunaan halal bihalal. Istilah halal bi halal mangrupakeun budaya khas urang Indonesia. Nu hal eta bakal nimbulkeun harti nu sifatna teu pasti pikeun bangsa deungeun-deungeun luar bangsa indonesia dina ngahartikeunanas sok sanajan maranehna paham kana ajaran islam oge paham kana bahasa Arab. Tapi najan bari kitu, halal bihalal bisa ngandung sababaraha harti atawa makna, nu bisa ditingali ku rupa-rupa paham dina ngahartikeunana.
Lamun ngabahas ngeunaan halal bihalal segi hukum, maka urang bisa nyokot harti yen kecap halal teh lawan tina kecap haram. Sedengkeun kecap haram mungguhing
nyaeta hiji perkara nu dilarang, mun seug dilakukeun bakal nimbulkeun dosa oge ngakibatkeun turunna siksa pikeun jalma nu ngalaksanakeunana. Megatkeun silaturrahmi atawa tali duduluran teh hukum dilarang dina agama islam, maka ku ayana halal bihalal jadi bisa nyambung deui. Nu teu akur jadi akur, nu silih pikangewa jadi silih pikanyaah, silih pikaasih.
Sedengkeun makna halal bihalal ditingali tina segi bahasa, maka bisa ditingal tina asal kecap halal eta, asal kecap ) حَلَلٌ halal( teh tina kecap حَلَّ )halla( atawa حَللَّ (halala) nu mibanda harti nu pirang-pirang diluyukeun jeung kecap panyambungna atau gabungan kecap samemeh atau saba’dana. Kecap kecap حَلَّ )halla( atawa حَللَّ (halala) bisa mibanda harti “nyalsekeun masalah atawa kasulitan”, bisa oge dihartikeun “Ngabereskeun benang nu pakusut”, bisa oge dihartikeun “ngahencerkeun perkara nu ngabeku atawa nu teuas”. Bisa oge dihartikeun “ngaleupaskeun tali nu ngaborogod”. Dumasar kana pirang-pirang harti eta, maka halal bi halal teh ngandung makna atawa maksud pikeun ngayakeun hiji tindakan pikeun ngarubah hubungan nu tadina kiruh jadi herang, atawa nu tadina teu akur jadi akur, nu tadina kaborogod ku tali ka ngewa jadi bebas oge silih bebaskeun ku tali kaasih jeung kaheman. Tegesna silih hampura tina sagala kasalahan jeung dosa antara sasama.
2. Silaturahmi
Silaturahmi asal tina dua kecap nu disambungkeun nyaeta tinda kecap صِلَةٌ(Shilat) jeungرَحِيْمٌ (Rohim). Kecap صِلَةٌ(Shilat) asal tina kecapوَصْلٌ )Washl( nu mibanda harti "nyambungkeun" atawa "ngumpulkeun". Sedengkeun kecap رَحِيْمٌ (Rohim) mibanda harti "kaasih" atawa "kaheman", nu bisa ngandung harti oge hiji anggota badan nu aya di kaum hawa’ nyaeta hiji tempat nu nyimpen bahan pi-anak-keun tegesna “kandungan”. Sabab saban anak nu dikandung ku hiji istri salawasna meunang rasa kaasih oge kaheman. Jadi صِلَةُ الرَّحيْمُ )silaturahim( bisa dihartikeun "nyambungkeun tali kaasih nu geus pegat", atawa "ngumpulkeun rasa kaheman atawa rasa kaasih nu pabureuncay atawa nu geus papisah".
Dumasar kana hal eta sahingga luyu reujeung dawuhan kanjeng Nabi saw. :“ Lain disebut silaturahim pikeun jalma nu ngabales kana anjang sono atawa males pamere (hadiah) nu dibere ku nu lian, tapi nu disebut silaturahmi nyaeta jalma nu nyambungkeun
perkara nu pegat atawa ngumpulkeun perkara nu papisah” (H.R. Imam Bukhari)
Malah dina dawuhan nu sejen Kanjeng Nabi saw. Ngajadikeun hiji ukuran pikeun hiji jalma ngeunaan kaimanana ka Allah swt. Ku dawuhanana: “Sing saha jalmana nu iman ka Allah jeung poe akhir, maka sambungkeun tali kaasih jeung kaheman”
Oge dina dawuhan Allah swt:
َالَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (أل عمران: 134)
“(Nyaeta) jalma-jalma nu nganafaqohkeun (hartana), boh dina waktu luang oge dina waktu samporet, jeung jalma-jalma nu nahan amarahna jeung mere hampura kana (kasalahan) jalma. Allah mikaresep ka jalma-jalma nu milampah kahadean”. (Ali Imron: 134).
Asbabun Nuzul ieu ayat teh nalika kajadian ngeunaan kasaksian palsu Misthah ka siti ‘Aisyah, abu baker sumpah nalika kabuktian eta tuduhan teh bohong, maka anjeunna sumpah hamo mere nafaqoh deui ka Misthah. Kukituna Allah maparin wahyu ka Kanajeng Nabi saw. Supaya didugikeun ka para shahabat supaya ngahampura ka jalma nu ngieun kasalahan antara sasama. Tah Dina ayat ieu aya tilu hal nu kudu jadi sikep urang, nyaeta: 1) Nahan Kaambek; 2) Mere hampura, jeung 3) Migawe kahadean.
Dina al-qur’an kecap hampura teh make istilah أَلْْعَفْوٌ(Al-‘Afwun) nu ngandung harti "ngagugurkeun" atawa "ngalebur". Kukituna jalma nu silih hampura ngandung makna silih gugurkeun atawa silih leburkeun tapak-tapak kasalahan nu geus dilakukeun.
Dumasar kana hal eta, maka dina raraga urang neuleuman makna عِيْدُ الْفِطْرِ (‘Idul Fitri) ieu, maka tilu hal eta kudu jadi kagiatan urang dina ngeusian عِيْدُ الْفِطْرِ (‘Idul Fitri) oge dina raraga ngawujudkeun diri urang teh jadi jalma nu mulang atawa balik deui kana kasucian. Tegesna urang kudu muka lambaran anyar kahirupan bari nutupan lambaran heubeul nu kiruh pinuh ku kokotor kahirupan nu jadi hahalang urang deukeutna ka Allah swt. Mudah-mudahan urang kagolong kana jalma nu barik deui (kana kasucian) oge golongan jalma-jalma nu meunang kabagjaan, tur Allah nampi kana ibadah shaum urang. Amin Ya Allah Ya Robbal Alamin. Wallohu A’lam Bish-Shawab.

Tuesday, 30 July 2013

BILANGAN RAKA'AT SHALAT TARAWIH

Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan tentang bilangan rakaat shalat Tarawih, antara lain :
a. Hadits riwayat Ibnu Abbas :
عن ابن عباس رضي الله عنهما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان في غير جماعة بعشرين ركعة والوتر
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Rasulullah SAW. shalat pada bulan Ramadlan tanpa berjama’ah 20 rakaat dan witir”. (HR. Ibnu Abi Syaiban dan Baihaqi)

b. Hadits riwayat Yazid bin Ruman
عن يزيد بن رومان قال : كان الناس يقومون في زمن عمر رضي الله عنه بثلاث وعشرين ركعة. [رواه مالك في الموطأ]
Artinya :
“Orang-orang di zaman Umar ra. melakukan shalat malam 23 rakaat (20 Tarawih, 3 Witir)”. (HR. Malik dalam kitab Muwattho’)

c. Hadits riwayat Siti A’isyah ra. :
روي عن عائشة رضي الله عنها قالت : ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان وغيره على إحدى عشرة ركعة. [رواه البخاري]
d. Hadits riwayat Jabir
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان ثمان ركعات ثم أوتر. [رواه ابن حبان]
Artinya :
“Rasulullah SAW. melakukan shalat bersama kita (para sahabat) pada bulan Ramadlan delapan rakaat. Kemudian melakukan witir”. (HR. Ibnu Hibban)
Karena beberapa hadits tersebut satu sama lain saling bertentangan, maka kita kembali pada Ushul Fiqih :
إذا تعارضت الأدلة تساقطت ووجبت العدول إلى غيرها.

Artinya :
“Apabila beberapa dalil itu bertentangan, maka semua saling menggugurkan dan wajib pindah pada dalil lainnya”.
Oleh karena itu, mengenai bilangan rakaat shalat tarawih ini para ulama madzhab pindah pada pedoman/dalil yang kongkrit yaitu ijma’ pada sahabat pada zaman Sayyidina Umar ra. yakni melaksanakan Tarawih 20 rakaat. Sebagaimana tersebut dalam kitab Muwattho’.

Cara Melakukan Shalat Tarawih
a. Setiap dua rakaat salam (20 rakaat 10 kali salaman).
b. Lebih afdlol dilakukan dengan berjamaah. Imam Bukhari meriwayatkan :
عن عبد الرحمن بن عبد القاري قال : خرجت مع عمر بن الخطاب ليلة في رمضان فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط. فقال عمر : إني أري لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل، ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب. [رواه البخاري]
Artinya:
“Abdur Rahman bin Abdul Qori berkata : pada suatu malam di bulan Ramadlan saya keluar bersama Umar bin Khatthab dan orang-orang terbagi berkelompok-kelompok, ada yang shalat sendiri dan ada yang diikuti sekelompok orang. Lalu sahabat Umar berkata : “Sesungguhnya saya berpendapat, jika mereka dikumpulkan menjadi satu (untuk berjamaah shalat Tarawih) dengan diimami oleh seseorang yang bagus bacaan Al-Qur’annya, tentu hal itu lebih utama”. Kemudian beliau dengan tekad yang man tap mengumpulkan mereka dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab”. (HR. Bukhari)
c. Diakhiri dengan shalat Witir 3 rakaat dengan terpisah, yakni 2 kali salam. Dalam kitab Majmu’ juz IV halaman 18 diterangkan:
الصحيح أن الأفضل أن يصليها مفصولة بتسليمتين لكثرة الاحاديث ولكثرة العبادات. إهـ [المجموع 4/18]
Artinya :
“Menurut pendapat yang shahih bahwa yang paling utama yaitu seseorang melakukan shalat witir dengan dipisah dua kali salam, karena banyak hadits yang meriwayatkan hal itu, dan lagi karena bertambah banyaknyaamalan dalam beribadah”.
Pada akhir pembahasan ini, penulis ingin menyampaikan dua catatan penting untuk para warga Nahdliyyin :
1. Kutipan fatwa Syaikh Muhammad Ali as-Shobuni maha guru fakultas Syari’ah di Makkah al-Mukarramah yang ditulis dalam risalahnya yang berjudul الهدي النبوي الصحيح في صلاة التراويح pada awal Sya’ban 1403 H. :
وبعد، فإن ما يفعله المسلمون اليوم في مشارق الأرض ومغاربها من صلاة التراويح عشرين ركعة هو الحق الذي دلت عليه النصوص الكريمة، وهو الذي درج عليه السلف الصالح وأجمع عليه الأئمة الأعلام، والذي اتفقت عليه الأمة الإسلامية من خلافة عمر الفاروق رضي الله عنه إلى زماننا هذا. وصلاة التراويح عشرين ركعةهو ما يتفق مع هدي النبوة ولا يخالف السنة النبوية الشريفة لأنه اتباع لأمر الرسول صلى الله عليه وسلم، فعليكم بسنة وسنة الخلفاء الراشدين المهدين.
Artinya :
“Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh kaum muslimin pada saat ini baik di belahan bumi bagian timur atau barat, yang berupa shalat tarawih dua puluh rakaat adalah yang benar sesuai dengan yang ditunjukkan oleh teks-teks dalil yang mulia dan dilakukan oleh ulama salaf yang shalih serta disepakati oleh para Imam yang tinggi ilmunya dan diseutujui oleh seluruh ummat Islam sejak zaman Khalifah Umar al-Faruq sampai dengan zaman kita sekarang ini. Shalat Tarawih 20 rakaat merupakan suatu hal yang sesuai dengan petunjuk Nabi dan tidak bertentangan dengan sunnah Nabi yang mulia, karena telah ittiba’/mengikuti perintah Rasulullah SAW. berpegangteguhlah kamu dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk”.
2. Sangat disayangkan amaliyah kebanyakan imam shalat tarawih dari kalangan warga Nahdliyyin yaitu di satu sisi mereka berupaya mengamalkan shalat tarawih yang sesuai dengan sunnah (20 rakaat), akan tetapi di sisi lain mereka tidak merasa terjebak dalam tindakan BID’AH selama sebulan penuh, yaitu melakukan shalat tarawih dengan gaya super cepat, sehingga diindikasikan tidak ada sikap khusyu’ atau thuma’ninah dalam shalatnya. Maka dari itu penulis yang dla’if dan awam ini kalau boleh ngaturi pengemut kepada sesama warga dengan menyontek (jawa: ngrepek) dari fatwa dua orang ulama yang alim di bidang ilmu fiqih :
a. Syaikh Nawawi Banten dalam kitabnya Kasyifatus Saja hal 74 menulis :
والمكروهات في الصلاة اثنان وعشرون، أحدها جعل يديه في كمية ..... إلى أن قال : وسادسها إسراع في الصلاة أي عدم التأني في أفعالها وأقوالها. إهـ
“Hal-hal yang hukumny makruh di dalam shalat itu ada 22, yang pertama, memasukkan kedua belah tangannya ke dalam lengan baju ..... sampi kata-kata kyai mushannif : yang keenam, melakukan shalat dengan cepat yakni tidak adanya sikap perlahan-lahan dalam perbuatan dan ucapan sewaktu shalat”.
b. Syaikh Abdur Rahma Ba Alawi dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidin hal 61 memberi penjelasan :
وأما التخفيق المفرط في صلاة التراويح فمن البدع الفاشية لجهل الأئمة وتكاسلهم. ومقتضى عبارة التحفة أن الانفراد في هذه الحالة أفضل من الجماعة. إن علم المأموم أو ظن أن الإمام لايتم بعض الأركان لم يصح الاقتداء به أصلا. اهـ
Artinya :
“Mempercepat shalat Tarawih sampai keterlaluan itu termasuk salah atu tindakan bid’ah yang sudah tersebar di mana-mana. Hal itu terjadi karena faktor bodohnya para imam shalat dan wujud kemalsan mereka dalam beribadah. Isi ta’bir kitab Tuhfah : bahwa melaksanakan shalat tarawih sendirian dengan sikap khusyu’ dan tuma’ninah itu lebih afdlol dari pada berjamaah/mengikuti seorang imam yang shalatnya serba cepat. Apabila makmum yakin atau menduga bahwa sang imam tidak menyempurnakan sebagian rukun shalat, maka jamaahnya sama sekali tidak sah”.
Dari ta’bir yang ada dalam kitab tersebut, warga kita tentunya bisa memahami
1. Shalat model gaya cepat itu hukumnya MAKRUH apabila sang imam dan para jamaah melaksanakan semua rukun shalat dengan sempurna;
2. Apabila diyakini/diduga bahwa sang imam dan para jamaahnya tidak menyempurnakan salah satu rukun shalat, maka shalatnya tidak sah;
3. Lebih baik shalat TARAWIH sendirian dengan sikap khusyu’ dan tuma’ninah dari pada berjamaah/mengikuti imam yang shalatnya SUPER CEPAT.

Monday, 29 July 2013

ZAKAT KEPADA KYAI

sudah merupakan hal yang biasa dilakukan di kampung-kampung bahwa sebagian kaum muslimin -yang notabenenya warga nahdliyin- memberikan zaktnya kepada kiyai langgar/guru ngaji, bagaimana hukumnya?
Sayid Abu Bakar bin Muhammad Syatho dalam kitabnya I’anatut Thalibin memberikan keterangan :
وَمِمَّا لاَ يَمْنَعُهُمَا [أَيِ الْفَقْرَ وَالْمَسْكَنَةَ] أَيْضًا اشْتِغَالُهُ عَنْ كَسْبٍ يُحْسِنُهُ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ، أَوْ بِالْفِقْهِ، أَوْ بِالتَّفْسِيْرِ، أَوِ الْحَدِيْثِ. أَوْ مَا كَانَ آلَةً لِذَلِكَ وَكَانَ يَتَأَتَّى مِنْهُ ذَلِكَ فَيُعْطَى لِيَتَفَرَّغَ لِتَحْصِيْلِهِ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِ وَتَعَدِّيْهِ، وَكَوْنِهِ فَرْضَ كِفَايَةٍ.
Artinya :
“Termasuk hal yang tidak mencegah keduanya (status fakir dan miskin) adalah seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang layak baginya karena waktunya tersita untuk menghafal Qur’an, memperdalam imu fiqih, tafsir, hadits atau ilmu alat (ilmu yang menjadi sarana tercapainya ilmu-ilmu tersebut), maka orang-orang semacam ini dapat diberi zakat, agar mereka dapat melaksanakan usahanya secara optimal, sebab manfaatnya akan lebih dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum, disamping juga hal itu hukumnya fardlu kifayah.
Dari keterangan ini, kita bisa memahami bahwa hukum memberi zakat kepada kiyai/guru ngaji itu boleh, dengan syarat bahwa yang bersangkutan keadaannya tidak mampu. Hal ini disamakan dengan orang yang sibuk menghafal hadits, memperdalam ilmu fiqih atau mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardlu kifayah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari penghasilan yang layak.
Jam’iyah Musyawarah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri pada tahun 1405 H./1984 M. pernah membahas persoalan ini dengan deskripsi masalah sebagai berikut :
Soal : Apakah boleh memberikan zakat kepada kiyai dengan atas nama kiyai?
Jawab: Tidak boleh, karena tidak termasuk ashnaf delapan, meskipun nama sabilillah, sebab yang dimaksud sabilillah adalah orang yang berperang dengan sukarela. Keterangan dari kitab Fathul Wahhab juz II hal. 27 :
(وِلِسِبِيْلِ اللهِ) وِهُوَ غَازٍ مُتَطَوِّعًا بِالْجِهَادِ.
Artinya :
“(dan untuk sabilillah) yaitu orang yang berperang dengan sukarela dalam jihadnya.
(Tanbih) Ada suatu qaul (pendapat ulama) yang menyebutkan bahwa kiyai itu termasuk sabilillah, sebagaimana keterangan dalam kitab Jawahirul Bukhari hal. 173 :
أَهْلُ سَبِيْلِ اللهِ الْغُزَاةُ الْمُتَطَوِّعُوْنَ بِالْجِهَادِ وَإِنْ كَانُوْا أَغْنِيَاءَ، إِعَانَةً عَلَى الْجِهَادِ. وَيَدْخُلُ فِيْ ذَلِكَ طَلَبَةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ وَرُوَّادُ الْحَقِّ وَطُلاَّبُ الْعَدْلِ وَمُقِيْمُوا اْلإِنْصَافِ وَالْوَعْظِ وَاْلإِرْشَادِ وَنَاصِرُوا الدِّيْنِ الْحَنِيْفِ. اهـ تحفة الرحبة 2 ص 33
Artinya :
“Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah : para pelajar/santri yang mempelajari ilmu syar’i, orang-orang yang mencari kebenaran, menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan membela agama yang lurus”.
Jadi, kalau kita mengikuti qaul/pendapat ulama yang tertulis dalam kitab Jawahirul Bukhari tadi (yakni pendapat Imam Qasthalani Asy-Syafi’i), maka boleh dan sah memberikan zakat kepada para kiyai/para guru ngaji -sebagaimana yang biasa dilakukan di kampung-kampung- dengan atas nama sabilillah.

TERJEMAH KITAB USHUL FIQH II

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Sambungan Khutbah, hal. 3 - 4 ( وَالصَّلاَةُ ) وهى من الله رحمة ومن الملائكة ا...